Wednesday, July 1, 2009

Prita Vs Omni

Dalam kasus yang merebak di awal Juni 2009 ini ada beberapa hal yang kita bisa perhatikan. Pertama secara hukum ini melibatkan dua aspek dari sisi 'Perlindungan konsumen' dan dari sisi 'Nama Baik'. Dari pihak Prita Mulyasari yang diinginkan hanyalah informasi mengenai kebenaran risalah sakit/rekam medisnya. Dan hal ini memang diatur dalam Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbicara mengenai hak konsumen. Dalam pemberitaan media, dia sudah menuntut hak-haknya mengenai informasi yang benar tentang rekam medisnya, namun Pihak OMNI tidak memberikan hasil yang memuaskan. Alhasil Prita menuliskan semua uneg-unegnya dalam sebuah surat elektronik yang akhirnya tersebar di mail-lists.

Mengetahui keberadaan surat elektronik yang ditulis Prita, pihak OMNI merasa nama baiknya dicemarkan. Kemudian mereka mengirimkan Somasi kepada Prita untuk segera mencabut surat elektronik tersebut. Namun pihak OMNI menyatakan tidak ada tanggapan dari pihak Prita. Alhasil mereka melaporkan Prita ke Kepolisian dengan tuduhan Prita melakukan perbuatan pidana dan menggugat Prita secara Perdata.

Hasil putusan perdata pada 11 Mei 2009 di PT Tangerang memenangkan gugatan RS OMNI. Prita terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum yang merugikan RS OMNI. Hakim memutuskan, Prita untuk membayar kerugian materiil sebesar 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di Koran Nasional. Dan 100 juta untuk kerugian immateriil (http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2009/06/02/brk.20090602-179467.id.html).

Proses pidana-pun tetap berjalan. Prita oleh Jaksa Penuntut Umum didakwa Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP (http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/06/04/13095348/kuasa.hukum.prita.sudah.siapkan.pembelaan....). Tidak cukup sampai disana, Prita juga didakwa Pasal 27 ayat 3 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada tanggal 25 Juni 2009 perkara Pencemaran Nama Baik terhadap OMNI diputuskan, dan Prita Mulyasari dibebaskan. Saat ini Prita sedang berjuang untuk menuntut balik pihak OMNI.

Menurut sumber dalam pemberitaan Tempo Interaktif, OMNI dan dokter-dokternya akan dilaporkan dengan Pasal 225, 233, 242, 267, 268, 317 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004 Pasal 79 huruf B. -http://tempointeraktif.com/hg/kriminal/2009/06/25/brk.20090625-183666.id.html-. Mungkin maksud pemberitaan Tempo Interaktif bukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004 melainkan Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004 adalah UU tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Banten. Menurut saya penggunaan KUHP adalah garda terakhir yang bisa ditempuh karena KUHP adalah lex generali, sedangkan untuk praktik kedokteran dan kesehatan sudah diatur secara tersendiri (lex specialis). Pertama yang harus dipakai adalah Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Jika sanksi pidana dalam kedua UU tersebut tidak dapat menjerat OMNI dan para dokternya baru KUHP dipakai.

Dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran memang tidak memberikan sanksi pidana untuk pelanggaran terhadap Pasal 45, 47, 52 Undang-undang tersebut, dimana menurut analisa saya yang saya sesuaikan dengan fakta dari pemberitaan media, Pihak OMNI melalui dokter-dokternya telah melanggar pasal-pasal tersebut. Undang-undang tentang Praktik Kedokteran hanya memberikan sanksi pidana pada pelanggaran Pasal 51 huruf (a) yang juga dilakukan oleh pihak OMNI karena tidak memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Namun sanksi pidana ini hanya diberikan kepada para dokter yang memberi tindakan medis kepada Prita saja tidak termasuk OMNI, dan pidananya hanya kurungan maksimal satu tahun atau (alternatif) denda paling banyak 50 juta rupiah.

Dari UU tentang Kesehatan tidak ada pasal yang dapat dikenakan kepada pihak OMNI dan para dokternya. Namun KUHP dapat dijadikan pasal subsider untuk mendakwa mereka. Dengan demikian pun dakwaan menjadi lebih komprehensif dan tidak ada celah bagi OMNI dan para dokternya untuk lepas dari jerat hukum.
Dari segi UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa Prita, yaitu Pasal 27 ayat 3 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, seharusnya dikaitkan dengan Pasal 310 KUHP. Perbuatan pidana Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik tidak dijelaskan oleh UU ini, baik di batang tubuh maupun dalam penjelasan. Perbuatan pidana Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik penjelasannya dapat kita lihat di Pasal 310 KUHP yang menyebutkan: “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran..”. Ada beberapa unsur mengenai perbuatan pidana ini:
1. Barang siapa
Ini menunjukkan bahwa ancaman pidana ini ditujukan kepada persoon.
2. Sengaja
Kesengajaan merupakan salah satu bentuk dari kesalahan, disamping kelalaian.
Namun rumusan pasal ini jelas menyebutkan bahwa kesengajaan itu harus dibuktikan terlebih
dahulu.
3. Menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
Menuduhkan sesuatu halIni merupakan unsur kunci yang tidak diperhatikan oleh Jaksa
Penuntut Umum. 'Menuduhkan sesuatu' berarti hal tersebut tidak terbukti kebenarannya.
4. Maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum
Ada publikasi untuk menyebarkan pesan.
Jadi penggunaan UU ITE tidak dapat ditafsirkan hanya secara gramatikal tetapi harus sistematis, khususnya dalam hal ini dikaitkan dg KUHP. Nama baik adalah sesuatu yang abstrak, namun pencemaran terhadap nama baik itu harus dibuktikan secara konkret. Jika yang dinformasikan adalah sesuatu yang benar, maka itu tidak dapat dikatakan sebagai pencemaran nama baik.

Monday, April 13, 2009

Potret ketenagakerjaan di Indonesia

Saya menyadari hal ini setelah terjun di bidang ketenagakerjaan. Sebagian besar pegawai, khususnya di sektor swasta, bagaimanapun tingginya kualifikasi yang dimiliki tetaplah 'budak' yang harus menurut bagaimanapun salahnya sang pemberi kerja.

Cukup banyak usaha yang dilakukan oleh pemberi kerja untuk menghindari peraturan-peraturan yang memberatkan mereka dalam pemeliharaan pegawai. Semangat kapitalisme sudah masuk ke sektor swasta khususnya di Indonesia. Mari kita ambil contoh tentang Pengaturan hubungan kerja antara buruh dengan pemberi kerja. Terdapat beberapa pembagian klasifikasi perjanjian kerja yang diantaranya PKWT (status pegawai biasa kita sebut pegawai kontrak) dan PKWTT (yang statusnya sering kita sebut dengan pegawai tetap). PKWT sendiri diklasifikasikan oleh keputusan menteri tenaga kerja menjadi beberapa macam, yang termasuk diantaranya kontrak harian lepas, kontrak bulanan (pekerjaan sementara dg maksimal waktu 3 th), dan kontrak untuk pekerjaan musiman. Namun pengawasan dari dinas ketenagakerjaan terhadap pelaksanaan peraturan PKWT ini kurang memadai. Namun setiap tenaga kerja mau tidak mau harus menurut terhadap maunya perusahaan. Jika tidak mau akan terancam pemutusan hubungan kerja, dimana hal itu tidak diinginkan oleh tenaga kerja mengingat kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.

Tenaga kerja harus tunduk secara penuh dengan sistem yang ada di perusahaan bukanlah suatu yang salah, bahkan secara etis sudah semestinya demikian. Namun pihak pemberi kerja juga harus mengikuti sistem yang berlaku di negara kita yang telah mempunyai aturan main ketenagakerjaan yaitu UU no. 13 tahun 2003 dan peraturan-peraturan pelaksananya. Hal ini sebenarnya cukup memprihatinkan, karena kaidah hukum dalam undang-undang no. 13 tahun 2003 hanya berlaku secara normatif saja namun tidak berlaku secara faktual/empiris dan evaluatif (Bruggink, 1993: h.149-153). Mungkin para pemberi kerja merasa nilai kaidah hukum dalam UU no. 13 tahun 2003 tidak mempunyai nilai bagi mereka karena memberatkan, namun bukan berarti mereka dapat berlaku sewenang-wenang terhadap tenaga kerja dengan melanggar UU yang berlaku.

Dalam kehidupan bernegara, khususnya di negara kita, ada yang kita sebut sebagai hukum dasar (grundnorm) yaitu konstitusi yang menjadi landasan bagi peraturan-peraturan yang lebih rendah. Yang menjadi tolok ukur apakah suatu UU bernilai atau tidak adalah diuji dengan konstitusi/UUD 1945 amandemen. Jika para pemberi kerja keberatan dengan UU no. 13 tahun 2003, ada prosedur yang bisa digunakan untuk mengajukan keberatan itu yaitu dengan cara mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Judicial review adalah upaya untuk menguji UU terhadap UUD, jika UU bertentangan dengan UUD maka Mahkamah konstitusi akan menyatakan kaidah/aturan tersebut tidak mengikat secara hukum.

Saya pikir tindakan pragmatis yang mengambil jalan pintas dengan cara melanggar UU tidaklah tepat, pemberi kerja bisa mengajukan judicial review secara class action (pengajuan gugatan bersama-sama) yang bisa menghemat biaya pemberi kerja untuk berperkara, dengan syarat harus sama-sama mempunyai legal standing (mengalami kerugian yang sama karena UU). Pemberi kerja seharusnya tidak memaksakan kehendak kepada tenaga kerja dengan semangat tidak mempedulikan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku, tetapi sebagaimana pemberi kerja ingin tenaga kerjanya taat seharusnya pemberi kerja harus taat kepada peraturan yang berlaku di negara ini.

Tenaga kerja adalah aset berharga yang dimiliki perusahaan, barang/alat produksi nilainya semakin menurun seiring bertambahnya waktu namun tenaga kerja nilainya semakin bertambah seiring bertambahnya waktu. Jadi korelasi nilai dan waktu untuk alat produksi dan tenaga kerja berbanding terbalik. Oleh karena itu seharusnya perusahaan menganggap tenaga kerja sebagai partner untuk berkembang. Namun beberapa perusahaan (walaupun tidak semua) masih saja menganggap tenaga kerja sebagai beban yang harus ditanggung karena gaji yang harus dibayar oleh perusahaan, tunjangan kesehatan yang harus diberikan, program jaminan sosial yang harus diikuti. Bukankah ini merupakan tindakan exploitasi terhadap tenaga kerja? Jika keadaan ini berlanjut terus maka pengelolaan SDM di Indonesia tidak akan pernah maju. Posted from moBlog – mobile blogging tool for Windows Mobile

Monday, April 6, 2009

Masukan untuk Perda Kawasan Bebas Rokok dan Terbatas Rokok

Pemerintah kota Surabaya telah memulai langkah yang baik dalam menyeimbangkan hak asasi, yang selama ini sering dijadikan alasan para perokok untuk merokok dengan santai di kawasan umum. Di bulan Oktober 2008 pemkot surabaya menetapkan Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang kawasan tanpa rokok dan kawasan terbatas merokok. Ini merupakan angin segar bagi para perokok pasif yang sering mengeluh ketika di kawasan umum ada perokok yang menyebabkan polusi udara.

Namun demikian Perda ini baru akan berlaku efektif tanggal 22 Oktober 2009. Ini merupakan peraturan yang baik dan bukan bermaksud mengecilkan usaha pemerintah dalam mengusahakan lingkungan yang lebih bebas asap rokok. Tetapi pemerintah harus memperhatikan asas-asas hukum dalam membuat sebuah peraturan.

Saya akan membahas beberapa hal yang mungkin bisa menjadi masukan untuk Perda ini. Yang pertama dan paling kelihatan, Perda ini dalam pasal 11 Mengatur mengenai ketentuan pidana. Sedangkan karakteristik Perda adalah regulasi. Peraturan yang mengatur sanksi pidana haruslah berbentuk legislasi, regulasi tidak dapat mengatur sanksi pidana. Alasannya, pidana adalah sanksi yang diberikan kepada persoon (perseorangan atau badan hukum) yang sifatnya adalah perampasan kemerdekaan (vide ps. 10 KUHP), dan untuk menjamin keadilan harus ada persetujuan wakil rakyat untuk pemberlakuan sanksi pidana. Regulasi dibentuk oleh kewenangan eksekutif, bukan legislatif. Jika peraturan pidana dapat diberlakukan tanpa persetujuan rakyat, maka pemerintah dapat disebut sewenang-wenang.

Perda tidak dapat memberikan sanksi pidana namun hanya dapat memberikan sanksi administrasi terhadap pelanggar Perda tersebut. Sanksi administrasi dapat berupa kurungan (bedakan dengan pidana penjara) dan atau denda administrasi. Sayangnya dalam perda ini sanksi administrasi bukan diberikan pada para perokok yang melanggar aturan, sanksi hanya diberikan pada pimpinan atau penanggung jawab lokasi yang termasuk kawasan bebas rokok dan atau kawasan terbatas rokok . Memang mereka harus bertanggung jawab atas penerapan Perda di tempat/lokasi mereka, tetapi si pelanggar juga harus bertanggung jawab atas pelanggaran yang mereka lakukan. Jangan sampai para perokok yang melanggar Perda ini lolos dari jerat hukum.