Monday, April 13, 2009

Potret ketenagakerjaan di Indonesia

Saya menyadari hal ini setelah terjun di bidang ketenagakerjaan. Sebagian besar pegawai, khususnya di sektor swasta, bagaimanapun tingginya kualifikasi yang dimiliki tetaplah 'budak' yang harus menurut bagaimanapun salahnya sang pemberi kerja.

Cukup banyak usaha yang dilakukan oleh pemberi kerja untuk menghindari peraturan-peraturan yang memberatkan mereka dalam pemeliharaan pegawai. Semangat kapitalisme sudah masuk ke sektor swasta khususnya di Indonesia. Mari kita ambil contoh tentang Pengaturan hubungan kerja antara buruh dengan pemberi kerja. Terdapat beberapa pembagian klasifikasi perjanjian kerja yang diantaranya PKWT (status pegawai biasa kita sebut pegawai kontrak) dan PKWTT (yang statusnya sering kita sebut dengan pegawai tetap). PKWT sendiri diklasifikasikan oleh keputusan menteri tenaga kerja menjadi beberapa macam, yang termasuk diantaranya kontrak harian lepas, kontrak bulanan (pekerjaan sementara dg maksimal waktu 3 th), dan kontrak untuk pekerjaan musiman. Namun pengawasan dari dinas ketenagakerjaan terhadap pelaksanaan peraturan PKWT ini kurang memadai. Namun setiap tenaga kerja mau tidak mau harus menurut terhadap maunya perusahaan. Jika tidak mau akan terancam pemutusan hubungan kerja, dimana hal itu tidak diinginkan oleh tenaga kerja mengingat kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.

Tenaga kerja harus tunduk secara penuh dengan sistem yang ada di perusahaan bukanlah suatu yang salah, bahkan secara etis sudah semestinya demikian. Namun pihak pemberi kerja juga harus mengikuti sistem yang berlaku di negara kita yang telah mempunyai aturan main ketenagakerjaan yaitu UU no. 13 tahun 2003 dan peraturan-peraturan pelaksananya. Hal ini sebenarnya cukup memprihatinkan, karena kaidah hukum dalam undang-undang no. 13 tahun 2003 hanya berlaku secara normatif saja namun tidak berlaku secara faktual/empiris dan evaluatif (Bruggink, 1993: h.149-153). Mungkin para pemberi kerja merasa nilai kaidah hukum dalam UU no. 13 tahun 2003 tidak mempunyai nilai bagi mereka karena memberatkan, namun bukan berarti mereka dapat berlaku sewenang-wenang terhadap tenaga kerja dengan melanggar UU yang berlaku.

Dalam kehidupan bernegara, khususnya di negara kita, ada yang kita sebut sebagai hukum dasar (grundnorm) yaitu konstitusi yang menjadi landasan bagi peraturan-peraturan yang lebih rendah. Yang menjadi tolok ukur apakah suatu UU bernilai atau tidak adalah diuji dengan konstitusi/UUD 1945 amandemen. Jika para pemberi kerja keberatan dengan UU no. 13 tahun 2003, ada prosedur yang bisa digunakan untuk mengajukan keberatan itu yaitu dengan cara mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Judicial review adalah upaya untuk menguji UU terhadap UUD, jika UU bertentangan dengan UUD maka Mahkamah konstitusi akan menyatakan kaidah/aturan tersebut tidak mengikat secara hukum.

Saya pikir tindakan pragmatis yang mengambil jalan pintas dengan cara melanggar UU tidaklah tepat, pemberi kerja bisa mengajukan judicial review secara class action (pengajuan gugatan bersama-sama) yang bisa menghemat biaya pemberi kerja untuk berperkara, dengan syarat harus sama-sama mempunyai legal standing (mengalami kerugian yang sama karena UU). Pemberi kerja seharusnya tidak memaksakan kehendak kepada tenaga kerja dengan semangat tidak mempedulikan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku, tetapi sebagaimana pemberi kerja ingin tenaga kerjanya taat seharusnya pemberi kerja harus taat kepada peraturan yang berlaku di negara ini.

Tenaga kerja adalah aset berharga yang dimiliki perusahaan, barang/alat produksi nilainya semakin menurun seiring bertambahnya waktu namun tenaga kerja nilainya semakin bertambah seiring bertambahnya waktu. Jadi korelasi nilai dan waktu untuk alat produksi dan tenaga kerja berbanding terbalik. Oleh karena itu seharusnya perusahaan menganggap tenaga kerja sebagai partner untuk berkembang. Namun beberapa perusahaan (walaupun tidak semua) masih saja menganggap tenaga kerja sebagai beban yang harus ditanggung karena gaji yang harus dibayar oleh perusahaan, tunjangan kesehatan yang harus diberikan, program jaminan sosial yang harus diikuti. Bukankah ini merupakan tindakan exploitasi terhadap tenaga kerja? Jika keadaan ini berlanjut terus maka pengelolaan SDM di Indonesia tidak akan pernah maju. Posted from moBlog – mobile blogging tool for Windows Mobile

No comments:

Post a Comment